Borneo Coal Mining

Senin, 21 Januari 2008

Tidak ada komentar:

Sumpah 'Porno' Haji Batu Bara

SUMPAH itu diucapkan Andi Syamsudin Arsyad di salah satu ruangan di restoran Jepang Hotel Rattan Inn, Banjarmasin, akhir Desember 2009. "Saya akan potong dan telan kemaluan saya," kata lelaki yang akrab dipanggil Haji Isam itu dengan nada tinggi.

Semua yang hadir mendadak sontak terdiam. Mohammad Solikin, Direktur PT Sari Borneo Yufanda, perusahaan seteru Isam, mengaku terkejut dengan pernyataan itu. "Suasana saat itu sangat tegang," katanya kepada Tempo, Jumat pekan lalu. Haji Jahrian bin H. M. Yunan, pemilik Sari Borneo, yang juga hadir di sana, membenarkan cerita tersebut.

Direktur Reserse Kriminal Polda Kalimantan Selatan Komisaris Besar Machfud Arifin ikut terdiam. Juga Antono, mitra bisnis Isam di PT Nusantara Kalimantan Energi dan salah satu pengurus Asosiasi Penambang Batu Bara Barito Timur.

Jahrian mengaku datang ke hotel itu atas undangan Machfud. Ketika tiba sana, Kepala Polisi Daerah Kalimantan Selatan Brigadir Jenderal Untung Rajab sudah menunggu bersama Haji Isam dan Antono. Lantas mereka pun makan malam bersama.

Perjamuan ini semula digelar untuk menyelesaikan sengketa tagihan Asosiasi Penambang Batu Bara kepada Jahrian atas pengerjaan proyek jalan eks landing site Pertamina di Barito Timur seluas 87,2 kilometer. Jahrian, selaku pengelola ruas jalan itu, berdalih tagihan Rp 4,7 miliar-seperti yang dihitung konsultan independen dan Dinas Pekerjaan Umum Barito Timur-sudah dibayar lunas. Namun asosiasi berkukuh total tagihan yang harus dibayar mencapai Rp 7 miliar.

Negosiasi dua kubu ini berlangsung alot. Argumen tentang hitung-hitungan duit bersahut-sahutan, tapi kata sepakat tetap tak diperoleh. Setelah satu setengah jam berlalu, kesimpulan akhirnya diambil Isam: perkara itu akan diselesaikan lewat jalur hukum.

Tak hanya itu, Isam juga sesumbar tak takut menghabiskan Rp 100 miliar untuk mengalahkan bisnis Jahrian dan mengusir Sari Borneo dari Barito Timur. "Setelah itu sumpah memotong kemaluan terlontar," kata Jahrian.

Dalam wawancara dengan Tempo, Rabu pekan lalu, Isam mengakui soal sumpah memotong kemaluan itu. Namun, kata dia, konteks pernyataan itu bukan soal tekadnya menghabisi Jahrian, termasuk "membuang" uang ratusan miliar untuk menghabisi Jahrian. "Itu penegasan bahwa klaim Rp 7 miliar itu benar," katanya. "Karena itu, kami siap diselesaikan lewat jalur hukum."

Adapun Brigadir Jenderal Untung Rajab meminta kehadirannya di Hotel Rattan Inn tak dipersoalkan. Dia mengaku sedang kongko saat Jahrian dan Isam, dua orang yang dikenalnya dekat, datang. "Saya tidak membela satu pihak," katanya.

Untung juga tak mau disebut sebagai backing Isam. Menurut dia, semua itu fitnah "Tapi biarkan saja saya dituduh," katanya. "Saya ini orang beragama, saya menyerahkan kepada Yang Di Atas."

Machfud Arifin juga menolak disebut sebagai mediator pertemuan tersebut. "Itu tidak benar dan fitnah," katanya. Perwira polisi yang sekarang berdinas di Markas Besar Polri ini mengaku hadir di sana untuk menemani sang komandan makan malam.

Solikin mempertanyakan hadirnya dua petinggi polisi dalam pertemuan itu. Dia menilai Untung dan Machfud seharusnya tidak ikut campur karena sengketa bisnis Jahrian dengan Asosiasi Penambang Batu Bara Barito Timur terjadi di wilayah hukum Kalimantan Tengah. "Apa urusan Kapolda Kalimantan Selatan ikut-ikutan?" katanya.

l l l

KABAR buruk itu diterima Jahrian dari Teja Kurnia Biauwanto, Direktur Utama PT Puspita Alam Kurnia, kolega bisnisnya membangun proyek jalan eks landing site Pertamina sejak November 2008. Teja mengaku barus saja menerima surat dari Bupati Barito Timur Zain Alkim pada 13 Januari 2010 tentang temuan ada penyimpangan di proyek tersebut. "Kegiatan fisik di lapangan dan finansial tidak sesuai dengan yang telah disepakati," kata Zain dalam surat itu.

Surat kedua dilayangkan Zain pada 28 Januari 2010. Isinya, Teja dan Jahrian harus hengkang dari di proyek jalan eks landing site Pertamina terhitung 29 Januari 2010.

Zain, yang ditemui Tempo pada Rabu pekan lalu, mengatakan keputusan penghentian aktivitas Puspita Alam Kurnia dan Sari Borneo diambil menurut aturan yang berlaku. Dia memastikan pembangunan proyek jalan tersebut tetap dilanjutkan. "Saat ini dikerjakan Asosiasi Penambang Batu Bara Barito Timur," katanya.

Empat hari setelah dipaksa keluar dari proyek jalan yang telah menghabiskan uang Rp 45 miliar itu, secarik surat kembali datang ke kantor Jahrian. Diteken Direktur Reserse Kriminal Polda Kalimantan Tengah Komisaris Besar Kliment Dwikorjanto, Jahrian diminta datang guna menjalani pemeriksaan sebagai saksi dalam perkara tindak pidana korupsi dalam di proyek jalan tersebut.

Ketika datang memenuhi panggilan polisi pada 10 Februari 2010, lelaki 46 tahun itu langsung ditangkap dan ditahan. Bersama Teja Kurnia, Jahrian ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi.

Jahrian mengaku terkejut atas penahanan itu. Dia menuding Isam berada di balik penangkapan tersebut. "Banyak sudah yang jadi korban seperti saya," katanya. "Jika tidak memenuhi keinginannya, siap-siap masuk penjara."

Menurut dia, ada rekayasa dalam penetapan dirinya sebagai tersangka. "Saya ini investor yang diundang untuk berinvestasi," katanya. "Tapi malah dituduh korupsi."

Menurut Asmar Oemar Saleh, kuasa hukum Jahrian, penangkapan dan penetapan status tersangka bagi kliennya secara prosedural tak beres. Sebab, status itu diberikan tanpa melakukan pemeriksaan terlebih dulu terhadap bupati dan Ketua DPRD Barito Timur sebagai pihak yang memberi kuasa melakukan investasi. Selain itu, dasar hukum yang dikenakan tidak tepat, karena pasal korupsi hanya berlaku bagi pejabat publik dan penyelenggara negara.

Isam membantah tudingan dirinya ada di balik kasus hukum yang menjerat Jahrian. "Saya tidak tahu-menahu soal kasus itu," katanya. "Kenapa saya terus-terusan disebut?"

Kepala Bidang Humas Polda Kalimantan Tengah Ajun Komisaris Besar Terr Pratiknyo juga menolak tudingan bahwa pengusutan kasus korupsi ini adalah order Isam.

Menurut dia, kasus tersebut bermula dari laporan masyarakat yang langsung ditindaklanjuti dengan meminta Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan melakukan audit. "Hasilnya ditemui ada indikasi korupsi."

Terr Pratiknyo menyatakan sudah melimpahkan berkas Teja Kurnia ke kejaksaan. "Kami juga akan memanggil Bupati Zain Alkim sebagai saksi dalam waktu dekat ini," katanya.

Terjepit di Palangkaraya, Jahrian melawan di Jakarta. Bekas guru SMP Sungai Danau, Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, ini rupanya pantang mengibarkan bendera putih.

Dengan menggandeng tiga kantor hukum dari Jakarta: Toedjoeh Empat & Co., Henry Yosodiningrat & Partners, dan Asmar Oemar Saleh & Partners, Jahrian mengajukan gugatan praperadilan atas penangkapan oleh polisi di Pengadilan Negeri Palangkaraya. Pada 30 Maret lalu, majelis hakim mengabulkan gugatan itu. Penahanannya ditangguhkan.

Gerakan lain juga dilakoni Jahrian. Dengan mengusung tema mafia tambang Kalimantan, utusan Jahrian membuat pengaduan ke Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum dan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat. Nudirman Munir, anggota Komisi Hukum, kepada Tempo membenarkan soal ini. "Mereka memang datang dan menyerahkan segepok dokumen keterlibatan Isam ke komisi," katanya.

Urusan pembentukan opini melalui media tak dilupakan. Sebuah perusahaan hubungan masyarakat disewa untuk membina jaringan ke sejumlah media nasional. Anjangsana dan penyebaran dokumen telah mereka lakukan.

Ketika dimintai konfirmasi, Jahrian tidak membantah. "Tapi saya hanya salah satu dari korban-korban Isam yang lain," katanya. "Ini gerakan bersama."(sumber majalah tempo 14 Juni 2010)

Seteru Panas Para Penggal

Berkah batu bara di Bumi Borneo tak selamanya membawa nikmat. Emas hitam itu memang mengubah hidup banyak orang. Bekas preman, tukang parkir, atau sopir truk bisa mendadak sontak kaya dalam semalam berkat rezeki emas hitam ini. Cukup menggali 5-10 meter, bongkahan batu bara sudah bisa diraup.

Saking mudahnya menambang batu bara, tak sedikit yang tergiur. Mimpi kaya mendadak membuat orang lupa daratan. Di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, para juragan lokal saling injak, adu kuat. Yang kalah terpental masuk bui. Segala cara dipakai, termasuk "bermain mata" dengan aparat hukum. Cheta Nilawaty

KUD Gajah Mada

Kronologi:
KUD Gajah Mada mengurus permohonan izin pinjam pakai lahan hutan kepada Menteri Kehutanan sejak 1999, dan sudah mengantongi persetujuan prinsip. Lokasi lahannya ada di eks hutan tanaman industri milik PT Kodeco Timber.
Sejak 2008, Koperasi mulai menambang dengan produksi 5.000 ton per bulan dan terus meningkat.
Pada Oktober 2008, Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan menyidik dugaan perambahan hutan oleh Koperasi Gajah Mada. Manajer Koperasi Haji Bachrullah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan dengan tuduhan melakukan tindak pidana perambahan hutan.
Mei 2009, Pengadilan Negeri Banjarmasin menjatuhkan vonis tiga setengah tahun penjara kepada Haji Bachrullah. Mahkamah Agung sudah menguatkan putusan ini.

Kejanggalan:
Dalam proses persidangan, Haji Bachrullah mengaku dimintai uang oleh penegak hukum.
Setelah vonis penjara atas Haji Bachrullah, izin pinjam pakai kawasan hutan di wilayah penambangan KUD Gajah Mada terbit dari Kementerian Kehutanan, sehingga penambangan secara yuridis menjadi sah dan bisa dilanjutkan.
Pada 2009, pengurus KUD Gajah Mada menyerahkan eksploitasi batu bara di lahan mereka kepada PT Jhonlin Baratama milik Haji Isam.

Haji Isam dan Polda Kalimantan Selatan membantah tudingan rekayasa kasus.
"KUD Gajah Mada adalah milik masyarakat, bukan Haji Bachrullah."

PT Baramega Citra Mulia Persada

Kronologi:
PT Baramega Citra Mulia Persada menguasai kuasa penambangan batu bara seluas 8.000 hektare di atas lahan eks hutan tanaman industri milik PT Kodeco Timber.
Pada Oktober 2008, Polda Kalimantan Selatan mulai menyidik kasus perambahan hutan oleh Baramega Citra. Direktur Utama Baramega Haji Amir bin H Nasarudin ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan menggunakan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah.
Pada Mei 2009, Pengadilan Negeri Banjarmasin menjatuhkan vonis 4 tahun penjara untuk Haji Amir.

Kejanggalan:
Setelah vonis penjara atas Haji Amir, PT Jhonlin Baratama juga menawarkan kerja sama eksploitasi lahan dengan PT Baramega Citra, dan dikabulkan oleh Haji Amir. "Sudah ada persetujuan lisan," kata Haji Isam.
PT Jhonlin saat ini sedang mengurus izin pinjam pakai kawasan hutan di wilayah penambangan PT Baramega Citra ke Kementerian Kehutanan.

Sama seperti sebelumnya, Haji Isam dan Polda Kalimantan Selatan membantah tudingan rekayasa dalam kasus ini.
"Haji Amir sendiri yang mengakui dia bersalah dan setuju bekerja sama dengan PT Jhonlin."

PT Satui Baratama

Kronologi:
Pada Desember 2008, Tim Gabungan Polda Kalimantan Selatan menghentikan aktivitas PT Satui Baratama dan CV Aulia dengan tuduhan merambah kawasan hak pengelolaan hutan tanaman industri milik PT Rindang Banua.
Sehari kemudian, polisi menetapkan Haji Parlin dan Direktur Utama CV Aulia, Haji Anang, sebagai tersangka, dengan tuduhan pembalakan liar. Dua pekan kemudian, saat baru pulang dari ibadah haji, Parlin langsung ditahan.
Awal 2009, Pengadilan Negeri Banjarmasin menolak dakwaan jaksa dan membebaskan Parlin.

Kejanggalan:

Terdakwa kasus ini, Haji Parlin, dibebaskan hakim pengadilan, padahal konstruksi perkaranya sama persis dengan perkara yang menimpa Haji Amir dan Haji Bachrullah.

Haji Isam membantah tudingan rekayasa dalam kasus ini.
"Lokasi kuasa pertambangan Haji Parlin berjauhan dengan lahan yang saya kerjakan, jadi tidak ada hubungannya dengan saya."

CV Indo Sraya Putra

Kronologi:
CV Indo Sraya Putra memiliki serta menguasai izin tambang dan jalan yang lokasinya persis di belakang rumah Haji Isam di Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu.
Pada Februari 2010, polisi menangkap karyawan Indo Sraya Putra dengan tuduhan melakukan penambangan di luar koordinat yang seharusnya. Alat berat yang disewa Indo Sraya disita polisi. Intan Sari, pemilik Indo Sraya, dipanggil berulang-ulang sebagai saksi, tapi terus menolak.
Intan menuduh penyidikan penambangan di luar koordinat itu adalah rekayasa, karena sebelumnya Indo Sraya terlibat perselisihan dengan perusahaan Haji Isam.

Kejanggalan:

Kepolisian Resor Tanah Bumbu dan Intan Sari sebelumnya pernah terlibat kasus hukum tata usaha negara memperebutkan sebidang tanah seluas 10 hektare yang kini menjadi Markas Polres Tanah Bumbu. Pemerintah kabupaten sudah menyediakan lahan untuk pembangunan markas polres di lokasi lain di Pondok Buton, tapi memilih lokasi yang lebih strategis di Batu Licin. Intan merasa tanah itu adalah haknya yang diserobot polisi.

Polisi menilai gugatan Intan tidak berdasar karena sudah ada putusan Mahkamah Agung yang berkekuatan hukum tetap soal hak polisi menempati lahan di Batulicin.

PT Sari Borneo Yufanda

Kronologi:
PT Sari Borneo Yufanda mendapat konsesi dari Pemerintah Kabupaten Barito Timur untuk mengelola jalan eks Pertamina sebagai jalur pengiriman batu bara. Sari Borneo kemudian memperbaiki jalan itu dengan biaya Rp 45,4 miliar. Setiap pengguna jalan itu harus membayar retribusi yang sebagian disetor ke kas pemerintah.
PT Nusantara Kalimantan Energi milik Haji Isam dan Antono mendapat kontrak perbaikan satu ruas jalan itu. Namun tagihan perbaikan Rp 4,7 miliar tidak dibayar oleh Sari Borneo.
Desember 2009, pemilik Sari Borneo, Haji Jahrian, bertemu dengan Haji Isam untuk menyelesaikan tagihan perbaikan jalan. Dalam pertemuan itu, tidak tercapai kesepakatan. Setelah pertemuan tersebut, Polda Kalimantan Tengah menyidik kasus jalan eks Pertamina dan menemukan bahwa setoran Sari Borneo kepada Pemerintah Kabupaten Barito Timur kurang dari seharusnya. Pada Januari 2010, pemerintah kabupaten mencabut konsesi jalan kepada Sari Borneo, dan sebulan kemudian, Haji Jahrian ditangkap atas tuduhan korupsi.

Kejanggalan:
Kepala Polda Kalimantan Selatan Brigadir Jenderal Untung Radjab sangat aktif memediasi perseteruan antara Haji Jahrian dan Haji Isam. Pertemuan di Hotel Rattan Inn, Banjarmasin, Desember 2009 dihadiri oleh Kepala Polda bersama Direktur Reserse Kriminal Komisaris Besar Machfud Arifin.
Polda Kalimantan Tengah menemukan indikasi korupsi dalam konsesi jalan eks Pertamina oleh Sari Borneo, tapi tidak menyidik Bupati Barito Timur yang memberikan konsesi itu.

Haji Isam membantah merekayasa kasus itu.
"Saya hanya bermasalah dengan Haji Jahrian soal tagihan perbaikan jalan yang belum dibayar Sari Borneo. Soal korupsi konsesi jalan, saya tidak ada hubungannya."

Kepala Polda Kalimantan Selatan juga membantah terlibat.
"Saya tidak khusus hadir di Hotel Rattan Inn untuk pertemuan itu, kebetulan saja kami bertemu di sana."(sumber majalah tempo 14 Juni 2010)

Lelaki dari Batulicin

Lelaki dari Batulicin

KAKINYA tak pernah diam. Sesekali digoyang-goyang, disilangkan, lalu diluruskan lagi. Sandal jepit hitam dipindah kaki kiri-kanan. "Silakan tanya, saya akan jawab semua," kata Haji Andi Syamsudin Arsyad, populer dipanggil Haji Isam, 33 tahun.

Ia pemilik dan Komisaris Utama PT Jhonlin Baratama, kontraktor pelaksana penambangan batu bara di Kalimantan Selatan. Namanya menjadi bahan pergunjingan setelah dilaporkan ke Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, dengan tuduhan bersekongkol dengan polisi menghancurkan lawan-lawan bisnisnya.

Perlu aneka jalan agar bisa mewawancarainya-termasuk melalui seorang konsultan politik. Rabu malam pekan lalu, di suit room lantai 25 Hotel The Ritz-Carlton, Pacific Place, Jakarta Selatan, ia menerima Tempo. Dalam cahaya temaram, tumpukan makanan yang berserak di meja sama sekali tak disentuhnya. Sekali dia menudingkan jari ke Junaidi, pengacaranya, minta diambilkan air soda berbotol hijau. Setelah dituang ke gelas, langsung ditenggaknya hingga tandas. Di sela pembicaraan, beberapa kali dia menatap hamparan lampu Kota Jakarta lewat kaca dinding jendela yang tirainya dibuka lebar.

Di Batulicin, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, orang gemetar menyebut namanya. Dalam usia muda, bisnisnya meroket. Kurang dari tujuh tahun sejak menggali batu bara pada 2003, ia kini punya perusahaan dengan total aset Rp 1 triliun lebih. "Tak ada yang berani sama Haji Isam, bisa gawat," kata seorang warga Batulicin. "Dia seperti kepala geng dalam film mafia."

Lahir di Batulicin pada 1 Januari 1977, Isam putra pasangan Andi Arsyad-Wardatul Wardiyah. Andi pedagang tembakau asal Bugis, Makassar. Merantau ke Borneo, Andi menikah dengan Wardatul pada 1975. Dua tahun kemudian Isam lahir. Sebelum menikahi Wardatul, Andi punya lima anak dari istri pertamanya. Dengan Wardatul punya delapan anak, termasuk Isam. "Jadi saudara saya 14 orang, satu wafat," kata Isam.

Masa sekolah Isam dilalui di Batulicin. Lulus sekolah dasar, ia meneruskan ke SMP Negeri II Batulicin. Lalu ke SMA I Batulicin dan lulus pada 1996. Sempat luntang-lantung beberapa bulan, Isam kemudian menjadi sopir truk pengangkut kayu. Saat itu penjarahan hutan sedang hebat-hebatnya di Kalimantan. "Mau apa lagi?" katanya, "kuliah juga tak mampu."

Tiga tahun bekerja di atas roda, pergaulan Isam meluas. Jawara kayu, orang tambang, pengusaha lokal dia kenal. Salah satunya Johan Maulana, penambang batu bara lokal. Perkenalan dengan Johan mengubah arah mata angin hidupnya. Pada 2001, Isam banting setir. Dua tahun mengikuti sepak terjang Johan mengelola pertambangan, ia kesengsem menjadi kontraktor pelaksana. Gayung bersambut. "Pada 2003 Pak Johan meminjami saya modal menyewa alat berat tambang," kata Isam.

Tak lama kemudian, Isam mengerek bendera PT Jhonlin Baratama, yang semula berstatus commanditaire vennootschap (CV). Dari sinilah kisah tentang "pria yang bikin orang ciut nyali" itu bermula. Awalnya Jhonlin hanya mampu menambang 5.000 ton per bulan. Lalu meningkat menjadi 10 ribu ton, sehingga bisa membeli alat berat.

Pada 2003 Isam memulai bisnis sebagai kontraktor pelaksana penambang di PT Arutmin Indonesia, anak perusahaan PT Bumi Resources milik keluarga Bakrie. Empat tahun kemudian, perusahaan ini melebarkan sayap ke ladang batu bara PT Alta70. Kemudian meluas ke tambang PT Berkat Benua Inti. Pada 2008 merangsek ke PT Praditya Baramulya, yang kuasa penambangannya bersebelahan dengan PT Berkat. Setahun kemudian menjadi kontraktor penambangan batu bara Koperasi Unit Desa Gajah Mada.

Keangkeran namanya kian tersohor ketika mencuat kasus pembunuhan Hadriansyah, guru Sekolah Dasar Sari Gadung, Batulicin, Senin 9, Februari 2004. Di terik matahari, sang guru bersama warga menggelar unjuk rasa, memblokir jalan Kodeco, ruas penting pengangkutan batu bara di wilayah itu. Mereka menuding para penambang, termasuk Isam, ingkar janji menyiram jalan yang mengepulkan debu ketika truk melintas. Uang kompensasi yang seharusnya dibayarkan sebagai pengganti penyiraman debu tak pernah dibayar.

Aktivitas belajar sekolah terganggu, debu meruyak di kelas-kelas. Namun, bukan air yang tumpah, melainkan darah. Guru Hardiansyah tewas. Di pengadilan, Culin dan Babak, anak buah Isam, divonis tiga bulan penjara. "Isam tak tersentuh hukum," kata sumber Tempo. "Sejak itu namanya kian ditakuti."

Kini PT Jhonlin mampu menambang hingga 400 ribu ton per bulan. Dengan harga jual batu bara Rp 100-120 ribu per ton, Jhonlin mereguk penghasilan sekitar Rp 40 miliar per bulan. Karyawannya 1.500 orang dan kini sedang dibangunkan perumahan. Bisnisnya terus mengembang, antara lain dengan merambah sektor penerbangan. Jhonlin Air Transport kini punya dua pesawat Fokker dan dua helikopter. "Bulan depan beli satu helikopter lagi," kata Isam.

Di bidang perkapalan ada Jhonlin Marine dengan 16 armada kapal tongkang pengangkut batu bara. Bisnis pertokoan dan real estate tak luput dirambahnya. Kawasan Bumi Jhonlin Indah, yang terletak di sebelah markas Jhonlin di Jalan Raya Kodeco, Tanah Bumbu, terus dikembangkan.

Meroketnya usaha Isam membuat banyak orang terkesiap. Dia disebut bermain mata dengan polisi dan pemerintah dalam memperluas tambang. Lahan tambangnya diduga hasil serobotan lahan pesaingnya. Semua tambangnya berada di area hutan tanaman industri PT Kodeco Timber-termasuk tambang KUD Gajah Mada yang kini tengah digali. Di bawah hamparan kawasan HTI Kodeco itu memang terkandung batu bara dalam jumlah banyak. Meski tanpa mengantongi kuasa penambangan dari pemerintah, pergerakan Jhonlin seperti gurita. "Kami hanya kontraktor pelaksana, kok. Kuasa pertambangan sudah penuh, tak mungkin dikeluarkan lagi," kata Isam.

Jhonlin menyewa pelabuhan Kodeco sejak 2003, Rp 5 miliar per tahun. Batu bara dari Arutmin dan lain-lain dikirim ke pelabuhan Kodeco. Luas lahan tambang yang dikelola Jhonlin sekitar 800 hektare. Separuh masuk wilayah kebun sawit, separuh di area Kodeco. "Paling yang bisa digarap 100 hektare, kecil sekali kok itu," kata Isam.

Menurut Isam, salah satu kakak kandungnya adalah direktur di Kodeco. Tapi, "Tak ada kaitannya dengan usaha saya. Dia masuk Kodeco pada 2009," kata Isam. Dia menolak ditanya perihal kakaknya. "Kami sedang membangun pelabuhan sendiri, agar tak lagi memakai pelabuhan Kodeco."

Pada 2008 Isam mundur dari jabatan Direktur Utama PT Jhonlin dan digantikan Ari Bastari sampai sekarang. Isam duduk sebagai komisaris utama. "Saya tak mampu menjalankan perusahaan ini. Pendidikan saya hanya SMA, biarlah dipegang orang profesional, kita bayari mereka," katanya. Dia menggenggam 70 persen saham. "Yang 30 persen gabungan orang tua, saudara, dan kerabat."

Menikmati waktu senggangnya sebagai Komisaris Utama Jhonlin, Isam ajrut-ajrutan di jalur off-road. Enam jip dobel gardan berjajar di kediamannya. Yang paling dibanggakan, Suzuki Caribbean. Jip seharga seratus jutaan yang khusus dipasarkan di Thailand itu didandaninya hingga senilai Rp 1 miliar. "Demi hobi, saya rela keluar duit berapa pun. Seperti menjaga harga diri."(sumber majalah tempo 14 Juni 2010)

Saya Bukan Preman

Andi Syamsudin Arsyad:
Saya Bukan Preman

DI Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, Haji Andi Syamsudin Arsyad, 33 tahun, adalah sosok yang nyaris tak tersentuh. Hampir semua pengusaha batu bara menyebut namanya dengan hati-hati-sebagian karena takut, yang lain karena segan. Kepada Tempo, yang menemuinya di griya tawang Hotel Ritz-Carlton, Pacific Place, Jakarta Selatan, Rabu pekan lalu, Haji Isam-begitu pemilik PT Jhonlin Baratama ini biasa disapa-menanggapi semua tudingan miring yang ditujukan kepadanya.

Anda dituduh sebagai dalang di balik kriminalisasi sejumlah pengusaha batu bara di Kalimantan Selatan....

Saya bingung, kok bisa ribut begini? Saya sampai datang menemui Haji Amir Nasarudin (pemilik PT Baramega Citra Mulia Persada, yang didakwa menambang liar) di penjara. Saya tanya dia, "Kok, saya dituduh menyerobot lahan tambang Pak Haji Amir?" Dia ternyata sama bingungnya. Dia mengakui kesalahannya, menambang di kawasan hutan lindung. Dia tidak ada masalah, kok orang lain pada ribut?

Bagaimana dengan lahan tambang KUD Gajah Mada, yang Anda kuasai setelah Haji Bachrullah masuk penjara?

KUD Gajah Mada itu milik masyarakat, bukan milik Haji Bachrullah. Dia hanya manajer, bukan pemilik. Pengurus KUD Gajah Mada yang membuat perjanjian dengan PT Jhonlin Baratama. Lagi pula, kami hanya kontraktor. Izin usaha pertambangannya tetap atas nama koperasi itu.

Jadi bukan Anda yang menggerakkan polisi?

Siapa sih yang bisa menggerakkan polisi? Tidak ada. Kalau disebut kenal, ya memang saya kenal. Siapa sih pengusaha yang tidak mau kenal dengan polisi?

Anda disebut-sebut dekat dengan Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri, bahkan Anda pergi umrah bersama pada Februari lalu....

Saya kenal, tapi tidak dekat. Waktu itu kebetulan saja satu pesawat, tapi biro perjalanan kami berbeda. Kami menginap di hotel yang berbeda dan pulangnya dengan pesawat berbeda. Beliau di Intercontinental Hotel, saya di Zamzam Hotel. Saya naik Singapore Airlines, beliau naik Garuda lagi. Kami bayar sendiri-sendiri.

Tapi kode booking tiket berangkat Anda sama dengan Jenderal Bambang?

Saya tidak tahu.

Perkembangan bisnis Anda luar biasa. Lima tahun lalu Anda bukan siapa-siapa, sekarang Anda pengusaha batu bara papan atas di Kalimantan....

Sebenarnya usaha saya biasa-biasa saja. Saya ini cuma kontraktor. Orang hanya tahu alat berat milik saya ratusan, saya beli ini beli itu, tapi mereka tidak tahu berapa pinjaman saya di bank. Saya pernah mendapat penghargaan dari Bank Syariah Mandiri karena tidak pernah terlambat sehari pun membayar kredit. Jadi, saya mau investasi berapa pun, bank percaya.

Di Tanah Bumbu, Anda pernah dikenal sebagai preman?

Menurut saya, sih, saya bukan preman. Tapi terserah orang lain menilai seperti apa.(sumber majalah tempo 14 juni 2010)

Perang Mafia Emas Hitam

LEMBAGA Pemasyarakatan Teluk Dalam, Banjarmasin, tampak sepi petang itu. Tak ada sanak keluarga narapidana memanfaatkan jam berkunjung pada pekan terakhir Mei lalu. Seorang sipir menyambut hangat ketika Tempo mengetuk pintu kayu besar di pendapa penjara dan meminta izin bertemu dengan seorang napi. "Sebentar, saya panggilkan," katanya.

Tak sampai sepuluh menit, pria yang dicari itu muncul dari dalam sel. Perawakannya ramping, tinggi badannya sedang, dan senyumnya ramah. Dialah Haji Bachrullah, pengusaha batu bara di Kalimantan Selatan yang dijebloskan ke penjara setahun lalu karena didakwa menambang di area hutan lindung. Hukumannya tiga setengah tahun penjara. "Saya sudah di dalam 18 bulan," katanya, tersenyum kecil. Matanya lalu menerawang. Belakangan ini dia mengaku susah tidur.

"Saya pusing memikirkan nasib lahan tambang saya," katanya kemudian. Dia merintis eksplorasi batu bara di atas lahan kuasa pertambangan seluas sekitar 700 hektare di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, sejak akhir 1998.

Tanah Bumbu ada di ujung tenggara Pulau Kalimantan dan kondang dengan batu baranya yang berlimpah. "Di sana, menggali beberapa meter saja, sudah ketemu batu bara. Gampang sekali," kata Bachrullah. Lokasi Tanah Bumbu yang strategis di bibir laut Jawa membuat ongkos angkut jadi murah. Ibu kotanya, Batulicin, sekitar enam jam perjalanan dari Banjarmasin.

"Berdasarkan hasil eksplorasi awal, ada kandungan 198 juta metrik ton batu bara di tambang saya saja," kata Bachrullah lagi. Dia tercenung lama. Di beberapa titik, katanya melanjutkan, kedalaman lapisan batu bara mencapai 40-an meter. Di benaknya sudah terbayang ratusan miliar rupiah yang bakal dia tangguk jika tambang sudah beroperasi penuh. "Rencananya, Desember 2008 sudah bisa kerja," kata pria 45 tahun ini.

Namun peristiwa nahas pada awal Oktober 2008 mengubah nasib Bachrullah. Belasan polisi mengepung rumahnya di Kota Baru, tak jauh dari Tanah Bumbu, dan menyetop penambangan. "Anak buah saya ditangkapi," katanya. Alasan polisi, Bachrullah menambang di area hutan lindung. Kejadian demi kejadian berikutnya bagai mimpi buruk buat Bachrullah. Dia sempat melarikan diri ke Jakarta, berganti-ganti nomor telepon dan tempat tinggal, sebelum memutuskan menyerah ke polisi. "Kalau saya memang harus dihukum, hukum saja," katanya pasrah.

Haji Bachrullah hanya satu dari sejumlah pengusaha batu bara di Kalimantan Selatan yang terjerumus ke balik terali besi dalam setahun terakhir. Satu sel dengan dia di LP Teluk Dalam adalah Haji Amir Nasarudin, Presiden Direktur PT Baramega Citra Mulia Persada, pemegang kuasa pertambangan sekitar 8.000 hektare di lahan eks hutan tanaman industri PT Kodeco Timber, Kabupaten Tanah Bumbu.

Bukan kebetulan jika perkara dua pengusaha ini disidik bersamaan. Vonis Haji Amir juga tak jauh beda: empat tahun penjara. Seorang pengusaha lain, Haji Jahrian, pemilik PT Sari Borneo Yufanda, tengah dibidik kasus korupsi di Polda Kalimantan Tengah. Dia sempat ditahan polisi, tapi dibebaskan pengadilan yang memenangkan gugatan praperadilannya, April lalu.

Semua pengusaha ini punya satu kesamaan: berseteru dengan Haji Andi Syamsudin Arsyad, anak muda 33 tahun yang usaha tambangnya terus meroket di Kalimantan Selatan. Haji Isam, begitu dia biasa disebut, adalah bos PT Jhonlin Baratama, kontraktor tambang terbesar di Tanah Bumbu.

Isam menguasai ratusan alat berat, pelabuhan stockpile batu bara, belasan kapal tongkang pengangkut batu bara, dan armada pesawat terbang Jhonlin Air Transport. Hanya satu yang dia tak punya: izin kuasa pertambangan. "Semua lahan kuasa pertambangan sudah penuh terisi. Saya kebagian jadi kontraktor saja," katanya, saat ditemui di lantai teratas Hotel Ritz-Carlton, Pacific Place, Jakarta, Rabu pekan lalu.

Dipelopori Jahrian, Mei lalu, para pengusaha itu mengadu ke Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum dan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka menuding Isam berkolusi dengan aparat penegak hukum untuk menghabisi lawan-lawan bisnisnya. "Ada indikasi korupsi dan makelar kasus dalam rentetan perkara ini," kata Rizanie Anshari, Ketua Pusat Studi Anti Korupsi Kalimantan, yang rajin mengawal kasus ini.

Tak tanggung-tanggung, telunjuk mereka menuding ke arah Kepala Kepolisian Jenderal Bambang Hendarso Danuri. Ketika menjadi Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan pada 2005, Bambang dikenal galak memberantas penambangan liar. Namun kabar yang beredar kini justru sebaliknya: Bambang konon dekat dengan Isam.

Selembar dokumen manifes penerbangan Garuda GA 098 dari Cengkareng ke Jeddah, Arab Saudi, 24 Februari lalu, kini beredar di Gedung DPR, Senayan. Di sana tertera nama Bambang, Isam, dan sejumlah petinggi kepolisian. Kode booking tiket mereka sama: E1FHN. Isam, Bambang Hendarso, dan sejumlah petinggi kepolisian ditengarai berangkat umrah bersama. "Itu kebetulan," kata kuasa hukum Isam, Junaidi. Kebetulan atau tidak, kecurigaan kadung merebak. Ketua Komisi Hukum DPR Benny K. Harman mengaku sudah mendengar kabar ini. "Sedang kami telusuri," katanya.

l l l

RUMAH mewah Haji Isam di Batulicin, Tanah Bumbu, bertengger di atas bukit. Dari sana, tampak pelabuhan batu bara dan belasan tongkang miliknya yang sedang buang sauh, menunggu pasokan batu bara yang akan dikirim ke Jawa. Sejauh mata memandang, lautan biru terhampar.

Rumah itu ada tepat di tengah lahan PT Kodeco Timber. Jalan di depan rumahnya masih dikenal dengan nama Jalan Raya PT Kodeco-salah satu ruas jalan angkut batu bara terpenting di Batulicin. Retribusi penggunaan jalan itu saja menyumbang Rp 23 miliar per tahun ke kas daerah. Di sekeliling rumah megah itu, ada tambang terbuka yang menunggu reklamasi. "Sebagian sudah mulai kami tanami pohon," kata seorang pegawai Isam.

Di depan rumah, tercagak gedung bertingkat dua: kantor PT Jhonlin Baratama. Tiga tiang bendera menancap di halaman depan. Di sebelahnya, proyek pembangunan perumahan dan pertokoan sedang berlangsung: Bumi Jhonlin Indah. "Itu perumahan untuk 1.500 karyawan kami," kata si pegawai lagi. Seorang pria berkaus hitam berlambang polisi-dengan pistol tergantung mencolok di pinggang-hilir-mudik di lantai dasar kantor. "Mau kopi, Mas?" kata si pria dengan murah hati.

Haji Isam tak ada ketika Tempo berkunjung ke sana, akhir Mei lalu. Polisi di Polres Tanah Bumbu berbisik, bos batu bara itu jarang berdiam di Batulicin. "Saya saja sulit ketemu. Dia lebih sering di Jakarta, atau Singapura," katanya.

Ketika dapat ditemui di Jakarta pekan lalu, Isam merendah sewaktu ditanya skala bisnisnya yang kini menggurita. "Saya ini biasa-biasa saja," katanya pelan. Namun dia mengakui bahwa dia bercita-cita menertibkan pertambangan di lahan milik Kodeco Timber. "Saya memang mengarah ke sana, saya mau membenahi semuanya," kata Isam. Suaranya bersemangat.

Total luas lahan Kodeco Timber di Kalimantan Selatan 13 ribu hektare lebih. Sebagian kini sudah tak lagi dikelola sebagai hutan tanaman industri. Di bawah hutan itu ada kandungan batu bara tebal yang menggiurkan. Orang pun beramai-ramai menggali di sana. Sebagian pakai izin, sisanya tidak.

Lahan dua penambang yang dicokok polisi, Amir Nasarudin dan Bachrullah, ada di atas lahan Kodeco. "Saya sudah membayar fee ke Kodeco, Rp 4.000 per ton produksi batu bara," kata Bachrullah. Di pengadilan, Amir mengungkapkan hal senada. Namun mereka tak bisa mengelak ketika jaksa mendakwa mereka tak punya izin pinjam pakai dari Kementerian Kehutanan.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, penggunaan kawasan hutan membutuhkan izin dari Menteri Kehutanan. Mereka yang melanggar bisa dipidana sampai 10 tahun penjara. Dalam berkas dakwaan, jaksa menegaskan bahwa lahan tambang KUD Gajah Mada dan PT Baramega Citra berada di atas lahan hutan tanaman industri milik Kodeco Timber.

Yang menarik, empat orang manajemen Kodeco Timber bersaksi memberatkan kedua terdakwa di persidangan. Salah satunya adalah Sahrudin, kakak kandung Isam. Dia adalah direktur operasional di Kodeco Timber. Ada kabar, pelapor kasus ini ya Kodeco juga. Terbukti saat penghitungan koordinat tambang, polisi ditemani staf Kodeco. Tapi soal ini dibantah polisi. "Kasus ini murni temuan aparat," kata Direktur Reserse Kriminal Polda Kalimantan Selatan saat itu, Komisaris Besar Machfud Arifin.

Namun, yang membuat kening berkerut adalah rangkaian peristiwa setelah palu hakim diketukkan. Tahun lalu, Kementerian Kehutanan malah menerbitkan izin pinjam pakai untuk lahan tambang Gajah Mada. Tak lama kemudian, alat-alat keruk Jhonlin Baratama sudah bekerja di sana. "Kami memang membuat perjanjian dengan pengurus koperasi," kata Isam.

Tak hanya itu, dia juga mengaku sudah mendapat persetujuan untuk mengerjakan lahan Baramega Citra. "Saya sudah bertemu Haji Amir," kata Isam.

Setelah dikelola Jhonlin, produksi batu bara Gajah Mada mencapai 300-400 ribu ton per bulan. "Saya dapat fee Rp 120 ribu per ton," kata Isam. Jika dipukul rata, pendapatan Jhonlin mencapai Rp 30-40 miliar per bulan dari tambang Gajah Mada saja. Itu pun baru 100 hektare dari total 700 hektare milik koperasi itu. "Yang besar sebenarnya Baramega Citra. Luas kuasa pertambangan mereka sekitar 8.000 hektare di lahan Kodeco," kata Isam. "Kami masih mengurus pinjam pakai untuk Baramega di Kementerian Kehutanan," katanya.

Bisa dibilang, Jhonlin Baratama mendapat durian runtuh dari aksi polisi menyikat tambang Bachrullah dan Amir. Dimintai konfirmasi, Isam membantah keras. "Siapa sih yang bisa mengatur polisi? Tidak ada," katanya. Namun, soal kedekatan dengan polisi, Isam setengah membenarkan. "Siapa sih pengusaha yang tak mau kenal polisi?"

Hubungan Isam juga dekat dengan kalangan politikus. Dua pekan lalu, ketika berlangsung pemilihan Gubernur Kalimantan Selatan, ia menjadi bendahara umum tim pemenangan pasangan Zairullah Azhar-Habib Aboe Bakar al-Habsyie yang diusung Partai Demokrat. Mantan Kepala Kepolisian DKI Jakarta Inspektur Jenderal Purnawirawan Nurfaizi tak menampik kabar tentang luasnya jejaring Isam di antara para pejabat. "Orangnya memang loyal dan siap membantu," katanya.

Perusahaan batu bara Nurfaizi, PT Raditya Bara Moya, pernah bekerja sama dengan Haji Isam. Soal kedekatan dengan petinggi polisi, Nurfaizi menolak berkomentar. "Saya tidak mau ngomong soal orang lain," katanya. "Tapi, paling tidak, saya kenal baik."

l l l

KEPALA Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komisaris Jenderal Ito Sumardi membantah keras jika polisi dituding kongkalikong dalam pemberantasan mafia pembalakan liar dan mafia tambang di Kalimantan Selatan. "Itu rumor semua. Tidak benar," katanya. Soal kedekatan polisi dengan Haji Isam juga dibantah orang dekat Kepala Polri. "Tidak mungkin itu," kata akademisi Universitas Indonesia yang dikenal sebagai anggota staf ahli Jenderal Bambang Hendarso Danuri itu.

"Dasar hukum semua penyidikan di sana kuat," kata Ito lagi. Dia menjamin Mabes Polri mengawasi proses hukum yang dilakukan Polda Kalimantan Selatan. "Kami saling mengawasi. Jangan khawatir," katanya. Soal lahan tambang para terpidana yang kini dikuasai Jhonlin, Ito angkat tangan. "Soal itu, tanya orang Kementerian Kehutanan, deh," katanya.

Direktur Jenderal Bina Produksi Hutan Hadi Daryanto mengakui aturan izin pinjam pakai kawasan hutan di Indonesia agak bermasalah. "Kadang prosesnya lama, karena birokrasi yang panjang," katanya.

Masalah makin parah karena banyak kepala daerah menerbitkan izin perkebunan dan pertambangan di atas kawasan hutan secara sepihak. Akibatnya terjadi kesimpang-siuran di lapangan. "Seharusnya, jika sudah ada vonis pengadilan untuk kasus perambahan hutan, izin pinjam pakainya tidak bisa turun lagi. Supaya tidak ada kesan kontradiktif," katanya tegas.

Guna menjernihkan soal ini, Februari lalu, Menteri Kehutanan Zulkifli Hassan menerbitkan surat edaran untuk semua gubernur. "Isinya meminta semua kasus yang berhubungan dengan pemakaian hutan dikumpulkan saja ke Jakarta," kata Hadi. "Lalu kita akan mengadakan gelar perkara bersama polisi, jaksa, dan komisi antikorupsi, untuk memilah mana yang layak dilanjutkan dan mana yang tidak," katanya. Sampai pekan lalu, belum semua gubernur menyetorkan data.

Keruwetan di Tanah Bumbu makin menjadi-jadi karena ada konflik kepentingan. Salah satu pemilik Kodeco Timber, tak lain dan tak bukan, adalah Haji Isam sendiri. Kepemilikan sahamnya memang tak langsung, tapi melalui PT Bintang Bengawan. Untuk soal ini, Junaidi, pengacara Isam, punya jawaban. Katanya, "Ini bagian dari upaya Haji Isam membenahi semrawutnya pengelolaan lahan Kodeco."
sumber majalah tempo edisi 14 Juni 2010